“Memahami UU NO. 08 TAHUN 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD”
Oleh: Inhul Hadi, S.E, M.Si*
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 merupakan sebuah terobosan bangsa
untuk mewujudkan negara yang berkeadilan. Setelah disahkannya dalam
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 April 2012 menggantikan
Undang-undang nomor 10 Tahun 2008, undang-undang ini diharapkan mampu
menciptakan lembaga perwakilan yang berkualitas dan mampu menjadi
lembaga perwakilan yang benar-benar menjadi perwujudan seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam tulisan ini akan coba sedikit diuraikan tentang beberapa
pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun
2012 tersebut, dengan harapan dapat dijadikan pencerahan dan penyegaran
dalam khasanah keilmuan dan perpolitikan dalam menghadapi Pemilu
Legislatif tahun 2014.
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan, penyesuaian, dan
penambahan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu, antara
lain meliputi:
1. Tahapan Pemilu. Penyelenggaraan tahapan pemilu ditambah
satu tahapan baru yang tidak termasuk tahapan pemilu dalam UU Pemilu
sebelumnya, yaitu tahapan perencanaan program dan anggaran, serta
penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu. Pansus Pemilu
beralasan perlunya dimasukannya tahapan tersebut dinilai sangat penting
menjadi suatu tahapan tersendiri guna menciptakan transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu terkait jangka waktu
dimulainya tahapan pemilu diatur bahwa tahapan pemilu dimulai
sekurang-kurangnya 22 bulan sebelum hari pemungutan suara. Waktu ini
lebih panjang dan dianggap akan lebih memadai bagi KPU dalam
mempersiapkan seluruh teknis penyelenggaraan pemilu 2014
2. Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu. Pada awalnya
sebelum di ubah oleh Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2012, terkait
dengan persyaratan mengikuti pemilu, bagi partai Politik Peserta Pemilu
pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik
Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Ketentuan ini menegaskan bahwa
partai yang mencapai angka parliamentary threshold (ambang batas)
2,5% pada pemilu 2009 langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014
dengan alasan partai politik tersebut sudah membuktikan memperoleh
dukungan rakyat. Pansus Pemilu menganggap ambang batas merupakan legal policy pembuat
undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara. Namun pada bulan
Agustus tahun 2012 Mahkamah Konstistusi mengubah pasal ini menjadi bahwa
setiap partai politik dapat mengikuti Pemilu setelah melalkui tahapan
Verifikasi.
3. Sistem Pemilu. Tidak ada perubahan sistem pemilu dalam UU
Pemilu baru ini. Sistem Pemilu yang dipilih tetap sistem proporsional
terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota (dengan suara terbanyak) dan sistem distrik berwakil banyak (Single Non-Transferable Vote System) untuk memilih anggota DPD.
Sedangkan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi
Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan yang lebih berat dari UU
Pemilu sebelumnya. Persyaratan tersebut antara lain: berstatus badan
hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki
kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75% (jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di
50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan; menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; dan
menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik
kepada KPU (Pasal 8 ayat (2)).
Namun pada bulan Agustus tahun 2012 Mahkamah Konstistusi mengubah
pasal ini menjadi bahwa setiap partai politik dapat mengikuti Pemilu
setelah melalui tahapan Verifikasi administrasi dan faktual tidak
terkecuali bagi partai-partai yang .
Selanjutnya dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini diatur bahwa pendaftaran
dan verifikasi partai politik dilakukan 20 bulan sebelum hari pemungutan
suara dan selesai dalam kurun waktu 5 bulan. Sehingga untuk pemilu 2014
pada awal tahun 2013 sudah diketahui partai politik peserta pemilu.
4. Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan. Pengaturan
jumlah kursi dan daerah pemilihan untuk DPR RI tidak berubah
dibandingankan pemilu 2009 lalu. Jumlah kursi anggota DPR tetap 560
kursi dan Jumlah kursi setiap daerah pemilihan paling sedikit 3 kursi
dan paling banyak 10 kursi. Demikian juga dengan jumlah kursi untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jumlah kursi DPRD provinsi paling sedikit 35 dan paling banyak 100
(didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan
sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang). Sedangkan
Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50
(didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan
sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
2012). Sedangkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sama, yaitu paling sedikit 3
kursi dan paling banyak 12 kursi.
5. Penyusunan Daftar Pemilih. Terkait penyediaan
data kependudukan, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini disepakati terdapat 3
bentuk yaitu (a) data agregat kependudukan per kecamatan sebagai bahan
bagi KPU dalam menyusun daerah pemilihan DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota; (b) Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu sebagai bahan
bagi KPU dalam menyusun daftar pemilih sementara; dan (c) data Warga
Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri sebagai bahan
bagi KPU dalam penyusunan daerah pemilihan dan daftar pemilih sementara.
Data kependudukan harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling
lambat 16 bulan sebelum hari pemungutan suara. Selanjutnya data
tersebut disinkronisasikan oleh Pemerintah bersama KPU dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya data kependudukan dari
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri.
Tahapan berikutnya adalah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu
(DP4) wajib dimutakhirkan oleh KPU menjadi data Pemilih dengan
memperhatikan data Pemilih pada Pemilu dan/atau pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota yang terakhir. Proses pemutakhiran data pemilih
harus diselesaikan paling lama 4 bulan setelah diterimanya DP4. Selain
itu, dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru, dimana apabila
terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih namun tidak
memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam daftar
pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil perbaikan, daftar
pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan; KPU Provinsi tetap
melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus
(Pasal 40 ayat (5)).
6. Pencalonan. Pasal pencalonan tidak banyak
berubah, hanya saja terdapat penambahan ketentuan yaitu kewajiban
mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, bagi
kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin maju sebagai calon
anggota DPR, DPD, atau DPRD. Selain itu, ketentuan tentang keterwakilan
perempuan masih menggunakan ketentuan lama pada UU No. 10 Tahun 2008
yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota disusun berdasarkan nomor urut. Daftar
calon memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan; yang mana dalam daftar bakal calon tersebut, setiap 3 orang
bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon.
Namun terkait keterwakilan perempuan ini, dalam UU No. 8 Tahun 2012
terdapat penambahan pengaturan pada penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang
menyebutkan: Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan
dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian
seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Ketentuan ini dianggap sebagai penguatan dan penegasan bahwa calon
perempuan tidak selalu harus ditempatkan pada nomor buncit (ketentuan
ini seakan menegaskan tentang signifikannya peran nomor urut dalam
sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sekalipun).
Selain itu, proses pengajuan nama bakal calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU Pemilu baru ini diatur lebih
panjang prosesnya, yaitu dilaksanakan 12 bulan sebelum hari pemungutan
suara (Pasal 57 ayat (2)).
Berkaitan dengan kewajiban pengunduran bagi anggota DPRD yang maju
menjadi Calon Anggota DPR/DPRD melalui partai yang berbeda, mahkamah
konstitusi telah memutuskan bahwa tidak wajib untuk mundur tetapi
diserahkan kepada mekanisme masing-masing partai.
7. Kampanye. UU No. 8 Tahun 2012 memberikan
pengaturan yang tegas bahwa kampanye melalui media massa cetak dan media
massa elektronik dikategorikan sebagai “iklan kampanye”, yang mana
pelaksanaannya sama dengan kampanye dalam bentuk rapat umum, yaitu
dilakukan (hanya) selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya
masa tenang (3 hari sebelum hari pemungutan suara). Periode waktu
kampanye dalam UU baru ini tidak berubah, tetap berlangsung setelah 3
hari setelah penetapan peserta pemilu dan berakhir 3 hari sebelum hari-H
pemungutan suara (kurang lebih selama 9 bulan).
8. Dana Kampanye. Terkait pengaturan dana
kampanye, terdapat penaikan jumlah batasan sumbangan dana kampanye yang
signifikan dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya dalam UU No.
10 Tahun 2008 diatur dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan
pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah
tidak boleh lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar), dalam UU baru
ini batasannya dinaikan menjadi sebesar Rp7.500.000.000,00 (tujuh koma
lima milyar). Sedangkan batasan sumbangan dana kampanye dari
perseorangan tidak berubah, yaitu tetap tidak boleh lebih dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar). Naiknya batasan sumbangan dana
kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 dikarenakan adanya konkordansi dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (lihat Tabel.1
berikut).
Tabel.1
Perbandingan Batasan Sumbangan Dana Politik dan Dana Kampanye
Pengaturan | Batasan Sumbangan dari Perseorangan | Batasan Sumbangan Non-Perseorangan (Kelompok/ Badan Usaha) |
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR (UU Pemilu lama) | Rp1.000.000.000,00 | Rp5.000.000.000,00 |
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik | Rp1.000.000.000,00 | Rp7.500.000.000,00 |
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR (UU Pemilu baru) | Rp1.000.000.000,00 | Rp7.500.000.000,00 |
9. Pemungutan dan Penghitungan Suara. Dalam
ketentuan pasal 150 UU No. 8 Tahun 2012 diatur ketentuan tentang pemilih
yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap atau daftar pemilih
tambahan dapat menggunakan kartu tanda penduduk atau paspor, yang mana
hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hal tersebut
(Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, yang dimohonkan oleh Refly Harun dan
Maheswara Prabandono pada Pemilu 2009 lalu).
Selain itu terdapat perubahan cara pemberian suara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya pada Pemilu 2009, pemilih menandai dengan tanda centang, cawang atau contreng, maka untuk pemilu mendatang pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154).
10. Rekapitulasi Suara. Dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru dalam penyelenggaraan rekapitualsi perhitungan suara setelah di Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkait dengan dikembalikannya fungsi Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Melalui UU No. 8 Tahun 2012 ini (dalam rangka sinkronisasi dan konkordansi dengan UU Penyelenggara Pemilihan Umum) diatur secara mendetil tugas dan kewenangannya dalam proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan.
11. Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, dan Calon Terpilih. Pada awalnya, ketentuan dalam UU ini sebagai berikut: ketentuan Pasal 208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR.
Selain itu terdapat perubahan cara pemberian suara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya pada Pemilu 2009, pemilih menandai dengan tanda centang, cawang atau contreng, maka untuk pemilu mendatang pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154).
10. Rekapitulasi Suara. Dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru dalam penyelenggaraan rekapitualsi perhitungan suara setelah di Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkait dengan dikembalikannya fungsi Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Melalui UU No. 8 Tahun 2012 ini (dalam rangka sinkronisasi dan konkordansi dengan UU Penyelenggara Pemilihan Umum) diatur secara mendetil tugas dan kewenangannya dalam proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan.
11. Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, dan Calon Terpilih. Pada awalnya, ketentuan dalam UU ini sebagai berikut: ketentuan Pasal 208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR.
Pasal ini setidaknya menyangkut 2 hal, yaitu pertama, ada
kenaikan angka ambang batas pada Pemilu 2014 nanti. Jika pada Pemilu
2009 angka ambang batas ditetapkan pada angka 2,5%, maka Pemilu 2014
naik menjadi 3,5%. Kedua, jika pada Pemilu 2009 lalu ambang batas
hanya diterapkan untuk Pemilu Anggota DPR, maka Pemilu 2014 angka
ambang batas diberlakukan secara nasional, tidak berjenjang.
Artinya pada Pemilu 2014, setiap partai politik peserta pemilu harus
memperoleh sekurang-kurangnya 3,5% suara sah untuk DPR RI, untuk dapat
diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi
maupun DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, meskipun suatu partai memperoleh
lebih dari 3,5% suara sah di pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota, akan tetapi kalau perolehan suaranya untuk pemilu
anggota DPR RI kurang dari 3,5%, maka partai tersebut secara otomatis
tidak bisa ikut dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi
maupun DPRD Kabupaten/Kota (suaranya dianggap hangus/terbuang/wasted votes).
Namun sebaliknya, jika suatu partai memperoleh suara sah lebih dari
3,5% untuk pemilu DPR RI, maka meski suaranya kurang dari 3,5% untuk
pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, partai politik
tersebut tetap berhak untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi
untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota karena dia dianggap telah
lolos ambang batas secara nasional.
Namun ketentuan sebagaimana diuraikan di atas telah dilakukan
judicial review dan oleh Mahkamah Konstitusi dikeluarkan keputusan MK
Nomor 52/PUU/X/2012 dan salah satu isinya adalah pembagian kursi tidak
dipengaruhi oleh perolehan suara sah secara nasional.
Selain itu untuk penetapan perolehan kursi, lakukan metode kuota
murni untuk menentukan perolehan kursi partai politik (habis di daerah
pemilihan). Dengan ketentuan: (a) apabila jumlah suara sah suatu Partai
Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP), maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh
sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung
dalam penghitungan tahap kedua; namun (b) apabila jumlah suara sah
suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil daripada BPP, maka dalam
penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah
tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam
penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah
pemilihan yang bersangkutan; dan selanjutnya (c) penghitungan perolehan
kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum
terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah
sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu
demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik
Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak (Pasal 212.)
12. Partisipasi Masyarakat. UU No. 8 Tahun 2012 ini
tidak banyak mengatur perubahan ketentuan tentang partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Hanya saja dalam Pasal 247 ayat
(5) disebutkan ketentuan baru bahwa khusus soal pengumuman prakiraan
hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam
setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana pemilu.
13. Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu. UU No. 8
Tahun 2012 secara eksplisit memiliki semangat untuk memperkuat peran
dan fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagaimana hal serupa telah
dilakukan melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Pengawas Pemilu (meliputi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri) menerima laporan pelanggaran Pemilu pada
setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Terhadap waktu penyampaian laporan, terdapat perubahan pengaturan
dalam UU Pemilu yang baru. Jika sebelumnya diatur bahwa laporan
pelanggaran pemilu disampaikan paling lama hari sejak terjadinya
pelanggaran pemilu, sekarang batas waktu pelaporan tersebut diperpanjang
durasinya menjadi laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 7
hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu. Sedangkan
lamanya waktu penanganan laporan pelanggaran pemilu oleh jajaran
pengawas pemilu tidak mengalami perubahan, tetap sama dengan pemilu 2009
lalu, yaitu pengawas pemilu wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3
hari setelah laporan diterima. Namun, dalam hal pengawas pemilu
memerlukan keterangan tambahan dari pelapor, maka tindak lanjut
penanganan laporan pelanggaran pemilu dilakukan paling lama 5 hari
setelah laporan diterima.
Setelah pengawas pemilu menerima dan mengkaji laporan pelanggaran
yang masuk, maka pengawas pemilu akan mengkategorisasikan laporan
pelanggaran tersebut menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:
(a) Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diteruskan kepada
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelanggaran kode etik
sebelumnya tidak diatur dalam UU Pemilu yang lama.
(b) Pelanggaran administrasi pemilu diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.
(c) Sengketa pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Dalam UU Pemilu lama
tidak diatur masalah sengketa pemilu sebagai masalah hukum yang
penyelesaiannya secara spesifik menjadi otoritas Bawaslu.
(d) Tindak pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Selain itu, terkait dengan masalah hukum pemilu, dalam UU No. 8 Tahun
2012 ini juga dikenal adanya: (a) sengketa tata usaha negara pemilu,
dan (b) perselisihan hasil pemilu
Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu oleh UU No. 8 Tahun 2012
diartikan sebagai pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang
berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai
penyelenggara pemilu. Tata cara penyelesaian pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Pengaturan dan definisi pelanggaran administrasi pemilu diatur lebih
kongkrit dalam UU No. 8 Tahun 2012 dibandingkan pengaturan sebelumnya.
Pelanggaran administrasi pemilu didefinisikan sebagai pelanggaran yang
meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan
administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan
pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu. Penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu
dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berdasarkan
rekomendasi Bawaslu, paling lama 7 hari sejak diterimanya rekomendasi
tersebut.
Sedangkan sengketa pemilu dimaknai sebagai sengketa yang terjadi
antarpeserta pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara
pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota. Penyelesaian sengketa pemilu ini disinkronkan dengan
UU No. 15 Tahun 2011, yakni diselesaikan oleh Bawaslu paling lama 12
hari sejak diterimanya laporan atau temuan (Pasal 258). Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa pemilu diperintahkan
untuk diatur dalam Peraturan Bawaslu (Pasal 259 ayat (5)).
Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan
keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa
pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu
dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Terkait sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi
Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, bila tidak dapat diselesaikan
oleh Bawaslu maka pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN).
Selain itu UU No. 8 Tahun 2012 mengganti semua terminologi
pelanggaran pidana pemilu yang ada dalam UU Pemilu yang lama dengan
terminologi baru yang lebih konsisten, yaitu tindak pidana pemilu. Skema
waktu penyelesaian tindak pidana pemilu juga diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu berikutnya.
Terkait penanganan tindak pidana pemilu, UU Pemilu baru juga mengatur
tentang pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu)
dengan tujuan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak
pidana pemilu antara Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai
Sentra Gakkumdu ini akan diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
14. Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu. Sama
seperti UU Pemilu sebelumnya, terkait dengan penyelesaian tindak pidana
pemilu, UU No. 8 Tahun 2012 kembali memerintahkan untuk dibentuknya
Majelis Khusus di pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana pemilu. Majelis Khusus tersebut terdiri
atas hakim khusus yang merupakan hakim karier pada pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu. Hakim khusus harus
memenuhi syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3
tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa
kerjanya telah mencapai 3 tahun. Selain harus menguasai pengetahuan
tentang pemilu, hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus
tindak pidana pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai
hakim khusus ini akan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (Pasal
266).
15. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu. UU No. 8
Tahun 2012 mengatur hal baru terkait dengan adanya ketentuan tentang
sengketa tata usaha negara pemilu. Sengketa tata usaha negara pemilu
adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai
politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul
antara: (a) KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos
verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang
penetapan Partai Politik Peserta Pemilu; dan (b) antara KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar
calon tetap.
Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilu ke PTTUN
dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu telah
digunakan. Selanjutnya, atas Putusan PTTUN atas sengketa tata usaha
negara pemilu, hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah
Agung. Putusan Mahkamah Agung bersifat terakhir dan mengikat serta tidak
dapat dilakukan upaya hukum lain. Sama halnya seperti penanganan tindak
piudana pemilu, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata
usaha negara pemilu dibentuk pula Majelis Khusus yang terdiri dari hakim
khusus yang merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi tata
usaha negara dan Mahkamah Agung (Pasal 270).
16. Perselisihan Hasil Pemilu. Tidak ada terobosan
maupun pengaturan baru yang substantif dalam UU No. 8 Tahun 2012 terkait
dengan penananganan perselisihan hasil pemilu (diatur dalam Pasal 273).
Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu
secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah
Konstitusi. Peserta Pemilu disini tentu saja tetap merujuk pada
ketentuan Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa
Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan perseorangan untuk Pemilu anggota
DPD. Dengan demikian, Undang-Undang baru ini “tetap” tidak memberi
peluang bagi (perseorangan) calon anggota legislatif untuk mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Batasan pengajuan permohonan perselisihan hasil kepada Mahkamah
Konstitusi tetap sama dengan pemilu 2009, yaitu paling lama 3 x 24 jam
sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional
oleh KPU. Satu-satunya ketentuan baru terkait perselisihan hasil pemilu
dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini hanyalah berupa pengaturan apabila
pengajuan permohonan kurang lengkap, maka pemohon dapat memperbaiki dan
melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 jam sejak diterimanya
permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, hanya diberikan waktu 1
x 24 jam (itupun diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, bukan
dalam UU Pemilu).
17. Ketentuan Pidana. Undang-Undang No. 8 Tahun
2012 mengkategorisasi antara tindak pidana yang berupa pelanggaran
dengan tindak pidana yang berupa kejahatan, beserta segala sifat yang
menyertainya. Selain itu juga terdapat perubahan pengaturan ketentuan
pidana, dimana dalam UU ini dilakukan penghapusan atas ketentuan pidana
minimum. Penghapusan ketentuan pidana minimum ini menurut Pansus Pemilu
dilakukan dalam rangka memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan
bagi hakim dalam memberikan putusan.
Beberapa ketentuan yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 tersebut
semestinya harus dipahami dan dimengerti oleh berbagai pihak yang
berkepentingan sehingga dapat dilaksanakan dengan baik dan tercipta
Pemilihan Umum yang berkualitas.
Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang dibentuk guna
melakukan pengujian undang undang dituntut untuk bekerja secara
profesional dalam memutus segala perkara yang masuk ke lembaga tersebut.
Keberadaan lembaga tersebut sejauh ini masih dibutuhkan guna mengawal
dan melakukan pengkajian undang-undang yang dihasilkan oleh DPR maupun
menyelesaikan sengketa Pemilu yang terjadi. Salah satu contoh nyata
kiprah MK yang berdampak positif dalam perjalanan demokrasi bangsa
adalah peran MK yang cukup dominan dalam pengkajian UU No. 8 Tahun 2012
ini.
*Pegawai Pemkab Inhu diperbantukan di Sekretariat KPU Inhu:
Referensi:
- Beberapa catatan Atas Keberlakuan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Titi Anggraini&August Mellaz. Rumahpemilu.com
- Mahkamahkonstitusi.go.id
- UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar