Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang
Kamis, 12 Februari 2015
Rabu, 11 Februari 2015
Penjelasan UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD
“Memahami UU NO. 08 TAHUN 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD”
Oleh: Inhul Hadi, S.E, M.Si*
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 merupakan sebuah terobosan bangsa
untuk mewujudkan negara yang berkeadilan. Setelah disahkannya dalam
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 April 2012 menggantikan
Undang-undang nomor 10 Tahun 2008, undang-undang ini diharapkan mampu
menciptakan lembaga perwakilan yang berkualitas dan mampu menjadi
lembaga perwakilan yang benar-benar menjadi perwujudan seluruh rakyat
Indonesia.
Dalam tulisan ini akan coba sedikit diuraikan tentang beberapa
pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 08 Tahun
2012 tersebut, dengan harapan dapat dijadikan pencerahan dan penyegaran
dalam khasanah keilmuan dan perpolitikan dalam menghadapi Pemilu
Legislatif tahun 2014.
Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan, penyesuaian, dan
penambahan substansi yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu, antara
lain meliputi:
1. Tahapan Pemilu. Penyelenggaraan tahapan pemilu ditambah
satu tahapan baru yang tidak termasuk tahapan pemilu dalam UU Pemilu
sebelumnya, yaitu tahapan perencanaan program dan anggaran, serta
penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu. Pansus Pemilu
beralasan perlunya dimasukannya tahapan tersebut dinilai sangat penting
menjadi suatu tahapan tersendiri guna menciptakan transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu terkait jangka waktu
dimulainya tahapan pemilu diatur bahwa tahapan pemilu dimulai
sekurang-kurangnya 22 bulan sebelum hari pemungutan suara. Waktu ini
lebih panjang dan dianggap akan lebih memadai bagi KPU dalam
mempersiapkan seluruh teknis penyelenggaraan pemilu 2014
2. Peserta dan Persyaratan Mengikuti Pemilu. Pada awalnya
sebelum di ubah oleh Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2012, terkait
dengan persyaratan mengikuti pemilu, bagi partai Politik Peserta Pemilu
pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik
Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Ketentuan ini menegaskan bahwa
partai yang mencapai angka parliamentary threshold (ambang batas)
2,5% pada pemilu 2009 langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014
dengan alasan partai politik tersebut sudah membuktikan memperoleh
dukungan rakyat. Pansus Pemilu menganggap ambang batas merupakan legal policy pembuat
undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara. Namun pada bulan
Agustus tahun 2012 Mahkamah Konstistusi mengubah pasal ini menjadi bahwa
setiap partai politik dapat mengikuti Pemilu setelah melalkui tahapan
Verifikasi.
3. Sistem Pemilu. Tidak ada perubahan sistem pemilu dalam UU
Pemilu baru ini. Sistem Pemilu yang dipilih tetap sistem proporsional
terbuka untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota (dengan suara terbanyak) dan sistem distrik berwakil banyak (Single Non-Transferable Vote System) untuk memilih anggota DPD.
Sedangkan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan
suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi
Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan yang lebih berat dari UU
Pemilu sebelumnya. Persyaratan tersebut antara lain: berstatus badan
hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki
kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75% (jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di
50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan; menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; dan
menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik
kepada KPU (Pasal 8 ayat (2)).
Namun pada bulan Agustus tahun 2012 Mahkamah Konstistusi mengubah
pasal ini menjadi bahwa setiap partai politik dapat mengikuti Pemilu
setelah melalui tahapan Verifikasi administrasi dan faktual tidak
terkecuali bagi partai-partai yang .
Selanjutnya dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini diatur bahwa pendaftaran
dan verifikasi partai politik dilakukan 20 bulan sebelum hari pemungutan
suara dan selesai dalam kurun waktu 5 bulan. Sehingga untuk pemilu 2014
pada awal tahun 2013 sudah diketahui partai politik peserta pemilu.
4. Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan. Pengaturan
jumlah kursi dan daerah pemilihan untuk DPR RI tidak berubah
dibandingankan pemilu 2009 lalu. Jumlah kursi anggota DPR tetap 560
kursi dan Jumlah kursi setiap daerah pemilihan paling sedikit 3 kursi
dan paling banyak 10 kursi. Demikian juga dengan jumlah kursi untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jumlah kursi DPRD provinsi paling sedikit 35 dan paling banyak 100
(didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan
sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang). Sedangkan
Jumlah kursi DPRD kabupaten/kota paling sedikit 20 dan paling banyak 50
(didasarkan pada jumlah Penduduk provinsi yang bersangkutan dengan
sejumlah ketentuan yang disyaratkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
2012). Sedangkan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sama, yaitu paling sedikit 3
kursi dan paling banyak 12 kursi.
5. Penyusunan Daftar Pemilih. Terkait penyediaan
data kependudukan, dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini disepakati terdapat 3
bentuk yaitu (a) data agregat kependudukan per kecamatan sebagai bahan
bagi KPU dalam menyusun daerah pemilihan DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota; (b) Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu sebagai bahan
bagi KPU dalam menyusun daftar pemilih sementara; dan (c) data Warga
Negara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri sebagai bahan
bagi KPU dalam penyusunan daerah pemilihan dan daftar pemilih sementara.
Data kependudukan harus sudah tersedia dan diserahkan kepada KPU paling
lambat 16 bulan sebelum hari pemungutan suara. Selanjutnya data
tersebut disinkronisasikan oleh Pemerintah bersama KPU dalam jangka
waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya data kependudukan dari
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri.
Tahapan berikutnya adalah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu
(DP4) wajib dimutakhirkan oleh KPU menjadi data Pemilih dengan
memperhatikan data Pemilih pada Pemilu dan/atau pemilihan gubernur,
bupati, dan walikota yang terakhir. Proses pemutakhiran data pemilih
harus diselesaikan paling lama 4 bulan setelah diterimanya DP4. Selain
itu, dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru, dimana apabila
terdapat warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih namun tidak
memiliki identitas kependudukan dan/atau tidak terdaftar dalam daftar
pemilih sementara, daftar pemilih sementara hasil perbaikan, daftar
pemilih tetap, atau daftar pemilih tambahan; KPU Provinsi tetap
melakukan pendaftaran dan memasukkannya ke dalam daftar pemilih khusus
(Pasal 40 ayat (5)).
6. Pencalonan. Pasal pencalonan tidak banyak
berubah, hanya saja terdapat penambahan ketentuan yaitu kewajiban
mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, bagi
kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin maju sebagai calon
anggota DPR, DPD, atau DPRD. Selain itu, ketentuan tentang keterwakilan
perempuan masih menggunakan ketentuan lama pada UU No. 10 Tahun 2008
yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota disusun berdasarkan nomor urut. Daftar
calon memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan
perempuan; yang mana dalam daftar bakal calon tersebut, setiap 3 orang
bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon.
Namun terkait keterwakilan perempuan ini, dalam UU No. 8 Tahun 2012
terdapat penambahan pengaturan pada penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang
menyebutkan: Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan
dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian
seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Ketentuan ini dianggap sebagai penguatan dan penegasan bahwa calon
perempuan tidak selalu harus ditempatkan pada nomor buncit (ketentuan
ini seakan menegaskan tentang signifikannya peran nomor urut dalam
sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sekalipun).
Selain itu, proses pengajuan nama bakal calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU Pemilu baru ini diatur lebih
panjang prosesnya, yaitu dilaksanakan 12 bulan sebelum hari pemungutan
suara (Pasal 57 ayat (2)).
Berkaitan dengan kewajiban pengunduran bagi anggota DPRD yang maju
menjadi Calon Anggota DPR/DPRD melalui partai yang berbeda, mahkamah
konstitusi telah memutuskan bahwa tidak wajib untuk mundur tetapi
diserahkan kepada mekanisme masing-masing partai.
7. Kampanye. UU No. 8 Tahun 2012 memberikan
pengaturan yang tegas bahwa kampanye melalui media massa cetak dan media
massa elektronik dikategorikan sebagai “iklan kampanye”, yang mana
pelaksanaannya sama dengan kampanye dalam bentuk rapat umum, yaitu
dilakukan (hanya) selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya
masa tenang (3 hari sebelum hari pemungutan suara). Periode waktu
kampanye dalam UU baru ini tidak berubah, tetap berlangsung setelah 3
hari setelah penetapan peserta pemilu dan berakhir 3 hari sebelum hari-H
pemungutan suara (kurang lebih selama 9 bulan).
8. Dana Kampanye. Terkait pengaturan dana
kampanye, terdapat penaikan jumlah batasan sumbangan dana kampanye yang
signifikan dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya dalam UU No.
10 Tahun 2008 diatur dana kampanye pemilu yang berasal dari sumbangan
pihak lain kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha nonpemerintah
tidak boleh lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar), dalam UU baru
ini batasannya dinaikan menjadi sebesar Rp7.500.000.000,00 (tujuh koma
lima milyar). Sedangkan batasan sumbangan dana kampanye dari
perseorangan tidak berubah, yaitu tetap tidak boleh lebih dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar). Naiknya batasan sumbangan dana
kampanye dalam UU No. 8 Tahun 2012 dikarenakan adanya konkordansi dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (lihat Tabel.1
berikut).
Tabel.1
Perbandingan Batasan Sumbangan Dana Politik dan Dana Kampanye
Pengaturan | Batasan Sumbangan dari Perseorangan | Batasan Sumbangan Non-Perseorangan (Kelompok/ Badan Usaha) |
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR (UU Pemilu lama) | Rp1.000.000.000,00 | Rp5.000.000.000,00 |
UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik | Rp1.000.000.000,00 | Rp7.500.000.000,00 |
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR (UU Pemilu baru) | Rp1.000.000.000,00 | Rp7.500.000.000,00 |
9. Pemungutan dan Penghitungan Suara. Dalam
ketentuan pasal 150 UU No. 8 Tahun 2012 diatur ketentuan tentang pemilih
yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap atau daftar pemilih
tambahan dapat menggunakan kartu tanda penduduk atau paspor, yang mana
hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hal tersebut
(Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, yang dimohonkan oleh Refly Harun dan
Maheswara Prabandono pada Pemilu 2009 lalu).
Selain itu terdapat perubahan cara pemberian suara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya pada Pemilu 2009, pemilih menandai dengan tanda centang, cawang atau contreng, maka untuk pemilu mendatang pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154).
10. Rekapitulasi Suara. Dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru dalam penyelenggaraan rekapitualsi perhitungan suara setelah di Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkait dengan dikembalikannya fungsi Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Melalui UU No. 8 Tahun 2012 ini (dalam rangka sinkronisasi dan konkordansi dengan UU Penyelenggara Pemilihan Umum) diatur secara mendetil tugas dan kewenangannya dalam proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan.
11. Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, dan Calon Terpilih. Pada awalnya, ketentuan dalam UU ini sebagai berikut: ketentuan Pasal 208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR.
Selain itu terdapat perubahan cara pemberian suara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya pada Pemilu 2009, pemilih menandai dengan tanda centang, cawang atau contreng, maka untuk pemilu mendatang pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154).
10. Rekapitulasi Suara. Dalam UU Pemilu baru ini terdapat pengaturan baru dalam penyelenggaraan rekapitualsi perhitungan suara setelah di Tempat Pemungutan Suara (TPS), terkait dengan dikembalikannya fungsi Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam melakukan rekapitulasi penghitungan perolehan suara melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Melalui UU No. 8 Tahun 2012 ini (dalam rangka sinkronisasi dan konkordansi dengan UU Penyelenggara Pemilihan Umum) diatur secara mendetil tugas dan kewenangannya dalam proses rekapitulasi suara di tingkat desa/kelurahan.
11. Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, dan Calon Terpilih. Pada awalnya, ketentuan dalam UU ini sebagai berikut: ketentuan Pasal 208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR.
Pasal ini setidaknya menyangkut 2 hal, yaitu pertama, ada
kenaikan angka ambang batas pada Pemilu 2014 nanti. Jika pada Pemilu
2009 angka ambang batas ditetapkan pada angka 2,5%, maka Pemilu 2014
naik menjadi 3,5%. Kedua, jika pada Pemilu 2009 lalu ambang batas
hanya diterapkan untuk Pemilu Anggota DPR, maka Pemilu 2014 angka
ambang batas diberlakukan secara nasional, tidak berjenjang.
Artinya pada Pemilu 2014, setiap partai politik peserta pemilu harus
memperoleh sekurang-kurangnya 3,5% suara sah untuk DPR RI, untuk dapat
diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi
maupun DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, meskipun suatu partai memperoleh
lebih dari 3,5% suara sah di pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD
Kabupaten/Kota, akan tetapi kalau perolehan suaranya untuk pemilu
anggota DPR RI kurang dari 3,5%, maka partai tersebut secara otomatis
tidak bisa ikut dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi
maupun DPRD Kabupaten/Kota (suaranya dianggap hangus/terbuang/wasted votes).
Namun sebaliknya, jika suatu partai memperoleh suara sah lebih dari
3,5% untuk pemilu DPR RI, maka meski suaranya kurang dari 3,5% untuk
pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, partai politik
tersebut tetap berhak untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi
untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota karena dia dianggap telah
lolos ambang batas secara nasional.
Namun ketentuan sebagaimana diuraikan di atas telah dilakukan
judicial review dan oleh Mahkamah Konstitusi dikeluarkan keputusan MK
Nomor 52/PUU/X/2012 dan salah satu isinya adalah pembagian kursi tidak
dipengaruhi oleh perolehan suara sah secara nasional.
Selain itu untuk penetapan perolehan kursi, lakukan metode kuota
murni untuk menentukan perolehan kursi partai politik (habis di daerah
pemilihan). Dengan ketentuan: (a) apabila jumlah suara sah suatu Partai
Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari Bilangan
Pembagi Pemilih (BPP), maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh
sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung
dalam penghitungan tahap kedua; namun (b) apabila jumlah suara sah
suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil daripada BPP, maka dalam
penghitungan tahap pertama tidak diperoleh kursi, dan jumlah suara sah
tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang akan dihitung dalam
penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat sisa kursi di daerah
pemilihan yang bersangkutan; dan selanjutnya (c) penghitungan perolehan
kursi tahap kedua dilakukan apabila masih terdapat sisa kursi yang belum
terbagi dalam penghitungan tahap pertama, dengan cara membagikan jumlah
sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu satu
demi satu berturut-turut sampai habis, dimulai dari Partai Politik
Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara terbanyak (Pasal 212.)
12. Partisipasi Masyarakat. UU No. 8 Tahun 2012 ini
tidak banyak mengatur perubahan ketentuan tentang partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Hanya saja dalam Pasal 247 ayat
(5) disebutkan ketentuan baru bahwa khusus soal pengumuman prakiraan
hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam
setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tindak pidana pemilu.
13. Penanganan Laporan Pelanggaran Pemilu. UU No. 8
Tahun 2012 secara eksplisit memiliki semangat untuk memperkuat peran
dan fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sebagaimana hal serupa telah
dilakukan melalui UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Pengawas Pemilu (meliputi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan
Pengawas Pemilu Luar Negeri) menerima laporan pelanggaran Pemilu pada
setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Terhadap waktu penyampaian laporan, terdapat perubahan pengaturan
dalam UU Pemilu yang baru. Jika sebelumnya diatur bahwa laporan
pelanggaran pemilu disampaikan paling lama hari sejak terjadinya
pelanggaran pemilu, sekarang batas waktu pelaporan tersebut diperpanjang
durasinya menjadi laporan pelanggaran pemilu disampaikan paling lama 7
hari sejak diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu. Sedangkan
lamanya waktu penanganan laporan pelanggaran pemilu oleh jajaran
pengawas pemilu tidak mengalami perubahan, tetap sama dengan pemilu 2009
lalu, yaitu pengawas pemilu wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3
hari setelah laporan diterima. Namun, dalam hal pengawas pemilu
memerlukan keterangan tambahan dari pelapor, maka tindak lanjut
penanganan laporan pelanggaran pemilu dilakukan paling lama 5 hari
setelah laporan diterima.
Setelah pengawas pemilu menerima dan mengkaji laporan pelanggaran
yang masuk, maka pengawas pemilu akan mengkategorisasikan laporan
pelanggaran tersebut menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:
(a) Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diteruskan kepada
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelanggaran kode etik
sebelumnya tidak diatur dalam UU Pemilu yang lama.
(b) Pelanggaran administrasi pemilu diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.
(c) Sengketa pemilu diselesaikan oleh Bawaslu. Dalam UU Pemilu lama
tidak diatur masalah sengketa pemilu sebagai masalah hukum yang
penyelesaiannya secara spesifik menjadi otoritas Bawaslu.
(d) Tindak pidana pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Selain itu, terkait dengan masalah hukum pemilu, dalam UU No. 8 Tahun
2012 ini juga dikenal adanya: (a) sengketa tata usaha negara pemilu,
dan (b) perselisihan hasil pemilu
Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu oleh UU No. 8 Tahun 2012
diartikan sebagai pelanggaran terhadap etika penyelenggara pemilu yang
berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai
penyelenggara pemilu. Tata cara penyelesaian pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Pengaturan dan definisi pelanggaran administrasi pemilu diatur lebih
kongkrit dalam UU No. 8 Tahun 2012 dibandingkan pengaturan sebelumnya.
Pelanggaran administrasi pemilu didefinisikan sebagai pelanggaran yang
meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan
administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan
pemilu di luar tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu. Penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu
dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota berdasarkan
rekomendasi Bawaslu, paling lama 7 hari sejak diterimanya rekomendasi
tersebut.
Sedangkan sengketa pemilu dimaknai sebagai sengketa yang terjadi
antarpeserta pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggara
pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota. Penyelesaian sengketa pemilu ini disinkronkan dengan
UU No. 15 Tahun 2011, yakni diselesaikan oleh Bawaslu paling lama 12
hari sejak diterimanya laporan atau temuan (Pasal 258). Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa pemilu diperintahkan
untuk diatur dalam Peraturan Bawaslu (Pasal 259 ayat (5)).
Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa pemilu merupakan
keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa
pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu
dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota. Terkait sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi
Partai Politik Peserta Pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, bila tidak dapat diselesaikan
oleh Bawaslu maka pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN).
Selain itu UU No. 8 Tahun 2012 mengganti semua terminologi
pelanggaran pidana pemilu yang ada dalam UU Pemilu yang lama dengan
terminologi baru yang lebih konsisten, yaitu tindak pidana pemilu. Skema
waktu penyelesaian tindak pidana pemilu juga diatur sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu berikutnya.
Terkait penanganan tindak pidana pemilu, UU Pemilu baru juga mengatur
tentang pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu)
dengan tujuan untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak
pidana pemilu antara Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Ketentuan lebih lanjut mengenai
Sentra Gakkumdu ini akan diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia, dan Ketua Bawaslu.
14. Majelis Khusus Tindak Pidana Pemilu. Sama
seperti UU Pemilu sebelumnya, terkait dengan penyelesaian tindak pidana
pemilu, UU No. 8 Tahun 2012 kembali memerintahkan untuk dibentuknya
Majelis Khusus di pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tindak pidana pemilu. Majelis Khusus tersebut terdiri
atas hakim khusus yang merupakan hakim karier pada pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu. Hakim khusus harus
memenuhi syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3
tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa
kerjanya telah mencapai 3 tahun. Selain harus menguasai pengetahuan
tentang pemilu, hakim khusus selama memeriksa, mengadili, dan memutus
tindak pidana pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai
hakim khusus ini akan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung (Pasal
266).
15. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu. UU No. 8
Tahun 2012 mengatur hal baru terkait dengan adanya ketentuan tentang
sengketa tata usaha negara pemilu. Sengketa tata usaha negara pemilu
adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara
calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai
politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul
antara: (a) KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos
verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang
penetapan Partai Politik Peserta Pemilu; dan (b) antara KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar
calon tetap.
Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilu ke PTTUN
dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu telah
digunakan. Selanjutnya, atas Putusan PTTUN atas sengketa tata usaha
negara pemilu, hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah
Agung. Putusan Mahkamah Agung bersifat terakhir dan mengikat serta tidak
dapat dilakukan upaya hukum lain. Sama halnya seperti penanganan tindak
piudana pemilu, dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata
usaha negara pemilu dibentuk pula Majelis Khusus yang terdiri dari hakim
khusus yang merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi tata
usaha negara dan Mahkamah Agung (Pasal 270).
16. Perselisihan Hasil Pemilu. Tidak ada terobosan
maupun pengaturan baru yang substantif dalam UU No. 8 Tahun 2012 terkait
dengan penananganan perselisihan hasil pemilu (diatur dalam Pasal 273).
Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu
secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah
Konstitusi. Peserta Pemilu disini tentu saja tetap merujuk pada
ketentuan Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa
Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan perseorangan untuk Pemilu anggota
DPD. Dengan demikian, Undang-Undang baru ini “tetap” tidak memberi
peluang bagi (perseorangan) calon anggota legislatif untuk mengajukan
permohonan perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Batasan pengajuan permohonan perselisihan hasil kepada Mahkamah
Konstitusi tetap sama dengan pemilu 2009, yaitu paling lama 3 x 24 jam
sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional
oleh KPU. Satu-satunya ketentuan baru terkait perselisihan hasil pemilu
dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini hanyalah berupa pengaturan apabila
pengajuan permohonan kurang lengkap, maka pemohon dapat memperbaiki dan
melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 jam sejak diterimanya
permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, hanya diberikan waktu 1
x 24 jam (itupun diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, bukan
dalam UU Pemilu).
17. Ketentuan Pidana. Undang-Undang No. 8 Tahun
2012 mengkategorisasi antara tindak pidana yang berupa pelanggaran
dengan tindak pidana yang berupa kejahatan, beserta segala sifat yang
menyertainya. Selain itu juga terdapat perubahan pengaturan ketentuan
pidana, dimana dalam UU ini dilakukan penghapusan atas ketentuan pidana
minimum. Penghapusan ketentuan pidana minimum ini menurut Pansus Pemilu
dilakukan dalam rangka memberikan asas kepastian hukum dan memudahkan
bagi hakim dalam memberikan putusan.
Beberapa ketentuan yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2012 tersebut
semestinya harus dipahami dan dimengerti oleh berbagai pihak yang
berkepentingan sehingga dapat dilaksanakan dengan baik dan tercipta
Pemilihan Umum yang berkualitas.
Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang dibentuk guna
melakukan pengujian undang undang dituntut untuk bekerja secara
profesional dalam memutus segala perkara yang masuk ke lembaga tersebut.
Keberadaan lembaga tersebut sejauh ini masih dibutuhkan guna mengawal
dan melakukan pengkajian undang-undang yang dihasilkan oleh DPR maupun
menyelesaikan sengketa Pemilu yang terjadi. Salah satu contoh nyata
kiprah MK yang berdampak positif dalam perjalanan demokrasi bangsa
adalah peran MK yang cukup dominan dalam pengkajian UU No. 8 Tahun 2012
ini.
*Pegawai Pemkab Inhu diperbantukan di Sekretariat KPU Inhu:
Referensi:
- Beberapa catatan Atas Keberlakuan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Titi Anggraini&August Mellaz. Rumahpemilu.com
- Mahkamahkonstitusi.go.id
- UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD
Penjelasan tentang RUU MD 3
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,
DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
I. UMUM
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan termasuk lembaga permusyawaratan/perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Perubahan dimaksud bertujuan mewujudkan lembaga permusyawaratan/perwakilan yang lebih demokratis, efektif, dan akuntabel. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengatur keempat lembaga tersebut, pada dasarnya sudah membuat pengaturan menuju terwujudnya lembaga permusyawaratan/perwakilan yang demokratis, efektif, dan akuntabel. Akan tetapi, sejak Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diundangkan, masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu untuk ditata kembali melalui penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 didasarkan pada materi muatan baru yang telah melebihi 50% (lima puluh persen) dari substansi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tersebut.
Penggantian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 terutama dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan
- 2 -
ketatatanegaraan, seperti dalam pembentukan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang membatalkan beberapa ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Perkembangan lainnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 /PUU-XI/2013 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang mengurangi kewenangan DPR dalam pembahasan APBN.
Di samping perkembangan sistem ketatanegaraan, pembentukan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksudkan pula sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja masing-masing lembaga perwakilan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip saling mengimbangi checks and balances, yang dilandasi prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta sekaligus meningkatkan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi representasi lembaga perwakilan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas serta untuk mewujudkan lembaga perwakilan rakyat yang demokratis, efektif, dan akuntabel, Undang-Undang ini memperkuat dan memperjelas mekanisme pelaksanaan fungsi, wewenang, dan tugas MPR, DPR, DPD, dan DPRD seperti mekanisme pembentukan undang-undang dan penguatan fungsi aspirasi, penguatan peran komisi sebagai ujung tombak pelaksanaan tiga fungsi dewan yang bermitra dengan Pemerintah, serta pentingnya penguatan sistem pendukung, baik sekretariat jenderal maupun Badan Keahlian DPR.
II. PASAL DEMI PASAL
- 3 -
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pengusulan 2 (dua) calon Wakil Presiden kepada MPR merupakan prakarsa Presiden. Dua calon Wakil Presiden tersebut berasal dari 1 (satu) partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan pasangan calon tersebut dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
- 4 -
Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan wewenang dan tugas MPR perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pertanggungjawaban pengelolaan anggaran MPR” adalah format dan prosedur pengelolaan anggaran.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundang-undangan yang mengandung konsekuensi berupa
- 5 -
kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota MPR.
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan” adalah dalam rangka pelaksanaan wewenang dan tugas MPR.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota MPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya, baik dalam acara kenegaraan, dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
- 6 -
Cukup jelas.
Huruf e
Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, suku, agama, dan ras.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “mengoordinasikan anggota MPR” adalah mempersiapkan anggota MPR untuk
- 7 -
memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada saat menjalankan tugas dan wewenangnya pada lembaga masing-masing. Ketentuan ini tidak menutup kesempatan bagi Pemerintah dan masyarakat untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf f
Dalam mewakili MPR di pengadilan, pimpinan dapat menunjuk kuasa hukum.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
Huruf b
Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 8 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah menderita sakit yang mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
- 9 -
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 10 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dalam hal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di hadapan rapat paripurna DPR, berita acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh pimpinan MPR.
Ayat (8)
Pidato awal masa jabatan disampaikan oleh Presiden:
dalam sidang paripurna MPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan sidang paripurna MPR;
dalam rapat paripurna DPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan rapat paripurna DPR; atau
di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung apabila pengucapan sumpah/janji dilakukan di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung.
Pasal 35
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
- 11 -
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
Pasal 44
Cukup jelas.
- 12 -
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
- 13 -
Cukup jelas.
Pasal 54
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Pidato pelantikan disampaikan oleh Presiden:
a. dalam sidang paripurna MPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan sidang paripurna MPR;
b. dalam rapat paripurna DPR apabila pengucapan sumpah/janji di hadapan rapat paripurna DPR; atau
c. di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung apabila pengucapan sumpah/janji dilakukan di hadapan pimpinan MPR dan pimpinan Mahkamah Agung.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
- 14 -
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini harus mencerminkan unsur anggota DPR dan anggota DPD.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan, antara lain, melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Ayat (1)
Memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran dimaksudkan agar tersedia anggaran yang mencukupi untuk mendukung pelaksanaan wewenang dan tugas DPR sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
- 16 -
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR” adalah format dan prosedur pengelolaan anggaran.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selama menjadi anggota DPR, yang bersangkutan harus berdomisili di ibu kota negara Republik Indonesia untuk menjamin kelancaran pelaksanaan tugas penuh waktu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan
- 17 -
untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundangundangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPR.
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 80
Huruf a
Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPR menyikapi dan menyalurkan serta menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang.
Huruf b
- 18 -
Hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan, baik secara lisan maupun tertulis, kepada Pemerintah sesuai dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
Huruf c
Hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya, baik dalam acara kenegaraan, dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
- 19 -
Huruf k
Cukup Jelas.
Pasal 81
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, agama, ras, dan suku.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “kunjungan kerja secara berkala” adalah kewajiban anggota DPR untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPR.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan kepada pemilih di daerah pemilihannya
- 20 -
pada setiap masa reses dan masa sidang melalui perjuangan politik yang menyangkut aspirasi pemilihnya.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Panitia khusus dibentuk untuk melaksanakan fungsi legislasi dan/atau fungsi pengawasan, termasuk menangani masalah/urusan yang bersifat mendesak atau memerlukan penanganan segera.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 21 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam memasyarakatkan keputusan DPR, pimpinan dapat menugasi anggota DPR.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam mewakili DPR di pengadilan, pimpinan dapat menunjuk kuasa hukum.
Huruf i
Cukup jelas.
- 22 -
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
Huruf b
Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya,
- 23 -
dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
- 24 -
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Alokasi anggaran terkait fungsi dan program kementerian/lembaga ditetapkan dalam rapat kerja komisi sehingga harus menjadi kesimpulan rapat kerja komisi.
- 25 -
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
- 26 -
Jumlah komisi disesuaikan dengan jumlah institusi pemerintah yang meliputi kementerian negara, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau sekretariat lembaga negara. Ruang lingkup tugas komisi disesuaikan dengan ruang lingkup kementerian negara, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR.
Yang dimaksud dengan “mitra kerja komisi” adalah kementerian/lembaga termasuk sekretariat lembaga negara seperti Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi dan Sekretariat Jenderal DPR.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
- 27 -
Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jumlah anggota Badan Anggaran memberikan alokasi yang lebih banyak terhadap komisi yang menangani urusan keuangan negara.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka efektivitas pembahasan alokasi dana transfer ke daerah oleh komisi, pembahasan dapat dilakukan dalam rapat gabungan komisi atau lintas komisi bersama pemerintah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 28 -
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
- 29 -
Cukup jelas.
Pasal 121
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Usulan fraksi memperhatikan syarat-syarat senioritas dan integritas dari keanggotaan fraksi yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 122
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkaitan” adalah lembaga negara, pejabat negara/pemerintah, badan hukum, organisasi masyarakat, warga negara Indonesia, dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
- 30 -
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Huruf a
Cukup jelas.
- 31 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “surat” adalah surat asli atau jika berupa fotokopi harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
Alat bukti surat yang bukan surat asli atau fotokopi yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang hanya menjadi petunjuk.
Huruf d
Alat bukti data atau informasi elektronik antara lain diperoleh dari pengadu, teradu, dan/atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
- 32 -
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
- 33 -
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas
Pasal 163
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada prinsipnya semua naskah rancangan undang-undang harus disertai naskah akademik, tetapi beberapa rancangan undang-undang, seperti rancangan undang-undang tentang APBN, rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang, rancangan undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional, atau rancangan undang-undang yang
- 34 -
hanya terbatas mengubah beberapa materi yang sudah memiliki naskah akademik sebelumnya dapat disertai atau tidak disertai naskah akademik.
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
- 35 -
Pendapat mini DPD hanya disampaikan terhadap rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas.
- 36 -
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pembahasan dilakukan, antara lain, dengan penelitian administrasi;penyampaian visi dan misi;uji kepatutan dan kelayakan.
Pasal 186
Cukup jelas.
- 37 -
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Cukup jelas.
Pasal 189
Cukup jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga” adalah lembaga yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.
- 38 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 197
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”menerima penjelasan Presiden” adalah menerima tanpa catatan atau menerima dengan catatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
- 39 -
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
- 40 -
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
Pasal 223
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
- 41 -
Pasal 226
Cukup jelas.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Cukup jelas.
Pasal 229
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Cukup jelas.
- 42 -
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Cukup jelas.
Pasal 239
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
Huruf b
Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
- 43 -
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Huruf i
Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 240
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah ketua umum atau sebutan lain yang sejenis sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
- 44 -
Cukup jelas.
Pasal 244
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hak keuangan tertentu” adalah hak keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 245
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup jelas.
- 45 -
Pasal 250
Ayat (1)
Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPD, perlu disediakan anggaran yang mencukupi sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPD” adalah format dan prosedur pengelolaan anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan
- 46 -
frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”. Pada hakikatnya, sumpah/janji adalah tekad untuk memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya dengan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPD.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Huruf a
Hak bertanya anggota DPD tidak bermakna sama dengan hak mengajukan pertanyaan anggota DPR.
Huruf b
Hak anggota DPD untuk mendapatkan keleluasaan menyampaikan usul dan pendapat baik kepada pemerintah maupun kepada DPD sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPD tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud dilakukan dengan tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil daerah.
Huruf c
- 47 -
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 258
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kepentingan kelompok, golongan, dan daerah dalam ketentuan ini termasuk kepentingan daerah yang diwakili, agama, ras, dan suku.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
- 48 -
Huruf i
Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan kepada masyarakat dan pemilih di daerah yang diwakilinya pada masa sidang melalui perjuangan politik yang menyangkut kepentingan daerah yang diwakilinya, serta di luar masa sidang melalui pertemuan-pertemuan dengan konstituen dan masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Dalam mewakili DPD di pengadilan, pimpinan dapat menunjuk kuasa hukum.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
- 49 -
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
- 50 -
Pasal 271
Cukup jelas.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Cukup jelas.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang yang terkait dengan kewenangan DPD, antara lain menyampaikan pandangan/pendapat dan mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) secara tertulis namun tidak ikut dalam pengambilan keputusan.
Pasal 279
Cukup jelas.
- 51 -
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Ayat (1)
Hasil pemeriksaan BPK meliputi hasil pemeriksaan laporan keuangan, hasil pemeriksaan kinerja, hasil pemeriksaan dengan tujuan, dan ikhtisar pemeriksaan semester.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 286
Cukup jelas.
- 52 -
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup jelas.
Pasal 292
Cukup jelas.
Pasal 293
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Sidang DPD di ibu kota negara dilakukan pada waktu tertentu dalam rangka pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPD.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
- 53 -
Pasal 295
Cukup jelas.
Pasal 296
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298
Cukup jelas.
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 300
Cukup jelas.
Pasal 301
Cukup jelas.
Pasal 302
Cukup jelas.
Pasal 303
Cukup jelas.
Pasal 304
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
- 54 -
Pasal 306
Cukup jelas.
Pasal 307
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
Huruf b
Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 55 -
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 308
Cukup jelas.
Pasal 309
Cukup jelas.
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Cukup jelas.
Pasal 312
Cukup jelas.
Pasal 313
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hak keuangan tertentu” adalah hak keuangan yang meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 56 -
Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315
Cukup jelas.
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pemilihan wakil gubernur oleh DPRD provinsi, dilakukan apabila masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”perjanjian internasional” dalam ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah dan pihak luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”kerja sama internasional” dalam ketentuan ini adalah kerja sama antara pemerintah daerah provinsi dan pihak luar negeri yang meliputi kerja sama provinsi ”kembar”, kerja
- 57 -
sama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 318
Ayat (1)
Penentuan jumlah anggota DPRD provinsi untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ayat (2)
Nama anggota DPRD provinsi terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum secara administratif dilakukan oleh KPU provinsi dan dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur dan tembusannya kepada KPU.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 58 -
Pasal 319
Cukup jelas.
Pasal 320
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundangundangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD provinsi.
Pasal 321
Cukup jelas.
Pasal 322
Cukup jelas.
Pasal 323
Huruf a
Hak mengajukan rancangan peraturan daerah provinsi dimaksudkan untuk mendorong anggota DPRD provinsi dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan peraturan daerah provinsi.
- 59 -
Huruf b
Hak anggota DPRD provinsi untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah daerah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi.
Huruf c
Hak anggota DPRD provinsi untuk menyampaikan suatu usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah daerah maupun kepada DPRD provinsi sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD provinsi tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Penyelenggaraan orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD provinsi, partai politik, atau perguruan tinggi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPRD provinsi untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
Huruf i
- 60 -
Cukup jelas.
Pasal 324
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, ras, agama, dan suku.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “kunjungan kerja secara berkala” adalah kewajiban anggota DPRD provinsi untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPRD provinsi.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
- 61 -
Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan pada setiap masa reses kepada pemilih di daerah pemilihannya.
Pasal 325
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “fraksi gabungan” adalah fraksi yang dibentuk dari gabungan anggota partai politik yang tidak dapat memenuhi syarat pembentukan 1 (satu) fraksi.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 326
Cukup jelas.
Pasal 327
- 62 -
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPRD provinsi dan berhak mengisi kursi pimpinan DPRD provinsi, melalui pimpinan partai politik setempat mengajukan anggota DPRD provinsi yang akan ditetapkan menjadi pimpinan DPRD provinsi kepada pimpinan sementara DPRD provinsi.
Berdasarkan pengajuan tersebut, pimpinan sementara DPRD provinsi mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan pimpinan partai politik tersebut untuk ditetapkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 328
Cukup jelas.
Pasal 329
Cukup jelas.
- 63 -
Pasal 330
Cukup jelas.
Pasal 331
Cukup jelas.
Pasal 332
Cukup jelas.
Pasal 333
Cukup jelas.
Pasal 334
Cukup jelas.
Pasal 335
Cukup jelas.
Pasal 336
Cukup jelas.
Pasal 337
Cukup jelas.
Pasal 338
Cukup jelas.
Pasal 339
Cukup jelas.
Pasal 340
Cukup jelas.
- 64 -
Pasal 341
Cukup jelas.
Pasal 342
Cukup jelas.
Pasal 343
Cukup jelas.
Pasal 344
Cukup jelas.
Pasal 345
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Penyelesaian diserahkan kepada pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk rapat konsultasi.
Pasal 346
- 65 -
Yang dimaksud dengan “keputusan rapat” adalah kesepakatan bersama yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan.
Pasal 347
Cukup jelas.
Pasal 348
Cukup jelas.
Pasal 349
Cukup jelas.
Pasal 350
Cukup jelas.
Pasal 351
Cukup jelas.
Pasal 352
Cukup jelas.
Pasal 353
Cukup jelas.
Pasal 354
Cukup jelas.
Pasal 355
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
- 66 -
Huruf b
Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan
- 67 -
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Huruf i
Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 356
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah ketua atau sebutan lain yang sejenis atau yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hal tersebut sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 357
Cukup jelas.
Pasal 358
Cukup jelas.
Pasal 359
Cukup jelas.
Pasal 360
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 68 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “6 (enam) bulan” adalah sejak proses awal pengajuan pemberhentian antarwaktu di DPRD provinsi.
Pasal 361
Cukup jelas.
Pasal 362
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hak keuangan tertentu” adalah hak keuangan yang meliputi uang representasi, uang paket, tunjangan keluarga dan tunjangan beras serta tunjangan pemeliharaan kesehatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
- 69 -
Pasal 363
Cukup jelas.
Pasal 364
Cukup jelas.
Pasal 365
Cukup jelas.
Pasal 366
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pemilihan wakil bupati/wakil walikota oleh DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”perjanjian internasional” dalam ketentuan ini adalah perjanjian antara Pemerintah dan pihak luar negeri yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”kerja sama internasional” dalam ketentuan ini adalah kerja sama daerah antara pemerintah daerah kabupaten/kota dan pihak luar
- 70 -
negeri yang meliputi kerja sama kabupaten/kota ”kembar”, kerja sama teknik termasuk bantuan kemanusiaan, kerja sama penerusan pinjaman/hibah, kerja sama penyertaan modal, dan kerja sama lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 367
Ayat (1)
Penentuan jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap provinsi didasarkan pada jumlah penduduk kabupaten/kota yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ayat (2)
Nama anggota DPRD kabupaten/kota terpilih berdasarkan hasil pemilihan umum secara administratif dilakukan oleh KPU kabupaten/kota dan dilaporkan kepada gubernur melalui bupati/walikota dan tembusannya kepada KPU.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 71 -
Pasal 368
Cukup jelas.
Pasal 369
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai frasa tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam didahului dengan frasa “Demi Allah”, untuk penganut agama Protestan dan Katolik diakhiri dengan frasa “Semoga Tuhan menolong saya”, untuk penganut agama Budha didahului dengan frasa “Demi Hyang Adi Budha”, dan untuk penganut agama Hindu didahului dengan frasa “Om Atah Paramawisesa”.
Pada hakikatnya, sumpah/janji merupakan tekad untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, memegang teguh Pancasila, menegakkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan peraturan perundangundangan yang mengandung konsekuensi berupa kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota DPRD kabupaten/kota.
Pasal 370
Cukup jelas.
Pasal 371
Cukup jelas.
Pasal 372
Huruf a
Hak ini dimaksudkan untuk mendorong anggota DPRD kabupaten/kota dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam
- 72 -
bentuk pengajuan usul rancangan peraturan daerah kabupaten/kota.
Huruf b
Hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengajukan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah daerah sesuai dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
Huruf c
Hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah daerah maupun kepada DPRD kabupaten/kota sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diarahkan oleh siapa pun di dalam proses pengambilan keputusan. Namun, tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun, dan kepatutan sebagai wakil rakyat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Penyelenggaraan orientasi dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah setempat, sekretariat DPRD kabupaten/kota, partai politik, atau perguruan tinggi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPRD kabupaten/kota untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam
- 73 -
acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 373
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kepentingan kelompok dan golongan dalam ketentuan ini termasuk kepentingan partai politik, daerah, ras, agama, dan suku.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “kunjungan kerja secara berkala” adalah kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota untuk bertemu dengan konstiuennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPRD kabupaten/kota.
Huruf j
Cukup jelas.
- 74 -
Huruf k
Pemberian pertanggungjawaban secara moral dan politis disampaikan pada setiap masa reses kepada pemilih di daerah pemilihannya.
Pasal 374
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “fraksi gabungan” adalah fraksi yang dibentuk dari gabungan anggota partai politik yang tidak dapat memenuhi syarat pembentukan 1 (satu) fraksi.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 375
Cukup jelas.
- 75 -
Pasal 376
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Partai politik yang urutan perolehan kursinya terbanyak di DPRD kabupaten/kota dan berhak mengisi kursi pimpinan DPRD kabupaten/kota, melalui pimpinan partai politik setempat mengajukan anggota DPRD kabupaten/kota yang akan ditetapkan menjadi pimpinan DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota. Berdasarkan pengajuan tersebut, pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota mengumumkan dalam rapat paripurna adanya usulan pimpinan partai politik tersebut untuk ditetapkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 377
Cukup jelas.
Pasal 378
- 76 -
Cukup jelas.
Pasal 379
Cukup jelas.
Pasal 380
Cukup jelas.
Pasal 381
Cukup jelas.
Pasal 382
Cukup jelas.
Pasal 383
Cukup jelas.
Pasal 384
Cukup jelas.
Pasal 385
Cukup jelas.
Pasal 386
Cukup jelas.
Pasal 387
Cukup jelas.
Pasal 388
Cukup jelas.
Pasal 389
- 77 -
Cukup jelas.
Pasal 390
Cukup jelas.
Pasal 391
Cukup jelas.
Pasal 392
Cukup jelas.
Pasal 393
Cukup jelas.
Pasal 394
Cukup jelas.
Pasal 395
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
- 78 -
Penyelesaian diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan fraksi yang dilakukan dalam bentuk rapat konsultasi.
Pasal 396
Yang dimaksud dengan “keputusan rapat” adalah kesepakatan bersama yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak terkait dalam pengambilan keputusan.
Pasal 397
Cukup jelas.
Pasal 398
Cukup jelas.
Pasal 399
Cukup jelas.
Pasal 400
Cukup jelas.
Pasal 401
Cukup jelas.
Pasal 402
Cukup jelas.
Pasal 403
Cukup jelas.
Pasal 404
Cukup jelas.
- 79 -
Pasal 405
Ayat (1)
Huruf a
Pernyataan meninggal dunia dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan/atau pejabat yang berwenang.
Huruf b
Pernyataan mengundurkan diri dibuat secara tertulis di atas kertas yang bermeterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap” adalah menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya, dan/atau tidak hadir dalam rapat tanpa keterangan apa pun selama 3 (tiga) bulan berturut-turut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 80 -
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Huruf i
Ketentuan ini dikecualikan terhadap anggota partai politik lokal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 406
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah ketua atau sebutan lain yang sejenis atau yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hal tersebut sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik masing-masing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 407
Cukup jelas.
Pasal 408
Cukup jelas.
- 81 -
Pasal 409
Cukup jelas.
Pasal 410
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “6 (enam) bulan” adalah sejak proses awal pengajuan pemberhentian antarwaktu di DPRD provinsi.
Pasal 411
Cukup jelas.
Pasal 412
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
- 82 -
Yang dimaksud dengan “hak keuangan tertentu” adalah hak keuangan yang meliputi uang representasi, uang paket, tunjangan keluarga dan tunjangan beras serta tunjangan pemeliharaan kesehatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 413
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Badan Keahlian DPR” adalah sistem dukungan keahlian yang diperuntukkan untuk mendukung tiga fungsi DPR yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Badan Keahlian antara lain terdiri atas pusat perancang undang-undang, pusat kajian anggaran, pusat kajian akuntabilitas keuangan negara, dan pusat penelitian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 414
Ayat (1)
Masing-masing lembaga menetapkan 3 (tiga) orang nama setelah melakukan penyeleksian terhadap beberapa calon.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 83 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 415
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”manajemen kepegawaian” adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban pegawai, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan, dan pemberhentian.
Pasal 416
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelompok pakar atau tim ahli” adalah sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu tertentu untuk membantu anggota dalam pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPR/DPD. Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPR/DPD. Penugasan kelompok pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 417
Cukup jelas.
- 84 -
Pasal 418
Ayat (1)
Organisasi sekretariat DPRD provinsi dibentuk untuk mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD provinsi dalam rangka meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat daerah, dengan memperhatikan pedoman penyusunan organisasi perangkat daerah.
Ayat (2)
Sekretaris DPRD provinsi adalah jabatan karier pegawai negeri sipil sehingga dalam pengusulan pengangkatan dan pemberhentiannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian. Dalam pengusulan pengangkatannya, gubernur mengajukan 3 (tiga) orang calon kepada pimpinan DPRD provinsi untuk mendapat persetujuan dengan memperhatikan jenjang kepangkatan, kemampuan, dan pengalaman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 419
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelompok pakar atau tim ahli” adalah sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu tertentu untuk membantu alat kelengkapan dalam pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi. Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD provinsi. Penugasan kelompok pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah provinsi.
- 85 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 420
Ayat (1)
Organisasi sekretariat DPRD kabupaten/kota dibentuk untuk mendukung pelaksanaan fungsi dan tugas pokok DPRD kabupaten/kota dalam rangka meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat daerah, dengan memperhatikan pedoman penyusunan organisasi perangkat daerah.
Ayat (2)
Sekretaris DPRD kabupaten/kota adalah jabatan karier pegawai negeri sipil sehingga dalam pengusulan pengangkatan dan pemberhentiannya mengikuti ketentuan peraturan perundangundangan bidang kepegawaian. Dalam pengusulan pengangkatannya, bupati/walikota mengajukan 3 (tiga) orang calon kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota untuk mendapat persetujuan dengan memperhatikan jenjang kepangkatan, kemampuan, dan pengalaman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 421
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelompok pakar atau tim ahli” adalah sekelompok orang yang mempunyai kemampuan dalam disiplin ilmu tertentu untuk membantu alat kelengkapan dalam pelaksanaan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota.
- 86 -
Kelompok pakar atau tim ahli bertugas mengumpulkan data dan menganalisis berbagai masalah yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota. Penugasan kelompok pakar atau tim ahli disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 422
Cukup jelas.
Pasal 423
Cukup jelas.
Pasal 424
Cukup jelas.
Pasal 425
Cukup jelas.
Pasal 426
Cukup jelas.
Pasal 427
Cukup jelas.
Pasal 428
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...
Langganan:
Postingan (Atom)